Sudah ada solusi yang ditawarkan dengan pendidikan seks yang harapannya menjadi bekal pengetahuan para siswa tentang seks. Memang di sini siswa bisa menghindari seks bebas tapi justru bisa membuka peluang bagi siswa untuk melakukan seks dengan “aman” sebelum menikah. Di sisi lain, tak bisa dipungkiri perkembangan teknologi yang banyak memberi dampak negatif seolah mengajari siswa untuk berpacaran yang akhirnya terjerumus dalam free sex.
Di sinilah peran guru agama sangat diperlukan. Islam sendiri tidak memperbolehkan berpacaran apalagi berzina sebab zina termasuk dosa besar yang bisa merusak nasab (keturunan). Tak hanya melarang zina namun juga melarang mendekati zina (pacaran) sebab dari sinilah zina akan lebih mudah terjadi.
Perlu dibuat materi pelajaran khusus agama yang membahas tentang pacaran dan bahayanya bagi siswa. Guru dituntut mampu mengembangkan kurikulum dan menyesuaikan dengan kondisi masyarakat sekarang ketika pacaran menjadi hal biasa bagi remaja bahkan mungkin jika tidak pacaran dianggap tidak gaul. Di samping itu, banyak media dari mulai televisi, film hingga internet yang mengampanyekan pacaran.
Pembelajaran agama pun harapannya bukan hanya transfer doktrin tanpa pernah menyinggung kondisi nyata lingkungan masyarakat. Guru harus mampu menjelaskan bahwa semua manusia pada dasarnya mempunyai fitrah untuk mencintai, salah satunya kepada lawan jenis. Namun, bukan berarti cinta ini diumbar sejak dini. Guru juga perlu bekerja sama dengan orangtua siswa dalam memperbaiki akhlak siswa. Bisa jadi, penyebab pacaran karena siswa tidak pernah mendapat kasih sayang yang cukup dari orangtua karena mereka sibuk dengan urusannya. Orangtua merasa cukup memperbaiki akhlak anaknya hanya lewat sekolah oleh guru.
Untuk menjelaskan bahaya pacaran, guru tidak cukup hanya menceritakan tentang kisah-kisah para pezina yang mendapat hukuman. Data LSM maupun hasil penelitian lain yang relevan juga disampaikan agar lebih mudah diterima siswa.
Jadi konselor
Guru perlu memahami bahwa banyak siswa yang berpacaran bukan untuk melakukan perzinaan semata. Bisa jadi, para siswa hanya terpengaruh lingkungan sehingga guru tidak harus langsung memaksa para siswa untuk memutuskan perilaku itu. Guru juga bisa bertindak sebagai konselor untuk menerima keluhan maupun masalah para siswa khususnya berpacaran.
Perlu diingat bahwa jam pelajaran agama yang hanya dua jam sepekan tidaklah cukup untuk menjaga akhlak siswa. Mungkin siswa di sekolah tidak berpacaran namun ketika di luar sekolah, keadaannya berubah sebaliknya.
Hukuman bisa diberikan jika diketahui murid memang melakukan pelanggaran berupa hukuman yang mendidik. Guru tidak boleh bersikap menghakimi dalam mengecek kebenaran laporan perilaku buruk di luar sekolah namun tetap mengedepankan kasih sayang dan adil.
Terakhir, apa yang dilakukan oleh guru adalah sebuah proses, bukan hasil yang bisa langsung bisa jadi. Tentunya guru harus menyadari bahwa pengaruh lingkungan yang begitu kuat hingga menjadikan siswa mudah berpacaran menyadarkan guru untuk terus belajar menemukan cara yang tepat dalam menyampaikan ajaran Islam ini.
Oleh : Budi Santosa Mahasiswa Jurusan Tarbiyah Prodi PAI STAIN Surakarta.
tulisan ini dimuat di SOLOPOS Edisi 14 Desember 2010
0 komentar:
Posting Komentar